Bismillah,
mumpung banyak duduk-duduk di tempat KP, apalagi bisa online buka laptop yang
biasanya Cuma dengan handphone, lebih baik menulis. Karna saya lebih suka
menulis pengalaman pribadi, sebab yang tahu betul tentang kejadian, perkara dan
pengalaman yang dialami seseorang tentu pelakunya, soal hikmah semua bisa
memetik. Insyaallah bertekad membuat minimal tiga tulisan dalam waktu dekat,
pengalaman belajar bahasa inggris, bahasa arab yang tidak begitu panjang dan
pengalaman menghafal Quran yang sebenarnya juga hutang pribadi. Berikut tentang
Aku dan Bahasa Inggris J
“Ahmad nggak akan bisa bahasa inggris ummi..”
Setelah
pindah dari Padang ke Jambi, aku memulai pendidikan jenjang TK dan sekolah
dasar di Jambi. Ini adalah cerita singkat tentang hubunganku dengan bahasa
inggris. Jujur, Ummi dan Abi ku bukan orang yang sering berinteraksi dengan bahasa
inggris, dirumah hampir tidak pernah berbahasa inggris, jauh berbeda dengan
keluarga salah seorang teman yang kukenal, dimana kesehariannya, canda tawanya
di rumah bersama keluarga menggunakan bahasa inggris, ngigaunya bahsa inggris
juga kali ya. Sampai aku menduduki jenjang Sekolah Dasar kelas 4 pun, aku tidak
pernah bersentuhan dengan mata pelajaran yang bernama bahasa inggris. Untung
ruginya pun aku tidak peduli, karena memang tidak akan bergelut disana, Abi
Ummi juga tidak pernah menganjurkan untuk mempelajarinya lebih dalam di masa
itu. Hingga Abi pindah bekerja ke Sumatera Selatan, kabupaten Sekayu, Musi
Banyuasin, meski daerahnya cukup lebih terpencil daripada kota Jambi, tapi
ternyata di tempat ini ada mata pelajaran bahasa inggris. Mulailah aku belajar
bahasa inggris dari awal, tidak dari nol sih, sebelumnya aku sudah mengenal
kata “Yes, No, You, One, Two, Three, Four”, berarti dimulai dari
0,00476, ahahaha, geli memang jika dibandingkan dengan zaman sekarang, kelas V
SD tidak bisa berbahasa inggris.
Dan
ternyata aku betul-betul menyesal bercampur malu, seakan topeng beton pun tak
bisa menutupi wajahku. Mengeja angka 1 hingga 20 saja aku tidak bisa, membaca
sebuah kalimat itu durasinya sama dengan membaca sebuah paragraf, apalagi akan
mengigau bahasa inggris, ngarep. Alhasil, disaat ujian teman-teman
baruku banyak yang kasihan melihatku belum juga mengumpulkan lembar ujian,
sesekali mereka berbisik dari jauh memberitahu jawaban ujian kepadaku, aku
hanya bisa membalasnya dengan tersenyum, fake smile karena akupun tak
paham dengan apa yang mereka bisikkan, miris. Entah karena paradigma yang
tertanam di benakku bahasa inggris itu memang sulit sekali, yang disampaikan
guru selama 2 tahun SD di Sekayu itu sama sekali tidak men-sibghah-ku.
Hingga aku sempat sekolah di SMP 1 Negri Sekayu kelas satu sebelum aku pindah
ke Padang. Sama saja, aku sama sekali tidak mengerti. Aku masih ingat wajah
guru bahasa inggrisku yang sering kecewa dengan hasil ulanganku. Meskipun saat
itu aku mampu menghafal banyak kata kerja beserta bentuk past hingga bentuk
ketiganya, tapi aku tidak tahu kapan dan dimana aku bisa gunakan puluhan
kata-kata itu, mungkin karena aku tidak belajar dari dasarnya, biasalah anak
pindahan. Ah! Menyedihkan. Puncaknya sampai aku melontarkan kata menyerah, aku
mengibarkan bendera putih, putih dengan bercak merah oleh tangis darahku, www.mirissekali.com, haha.. Aku katakan
ke Ummi sepulang sekolah “Ahmad nggak akan bisa bahasa Inggris mi..”. Lalu Ummi
memotivasi seperti biasa, dengan tambahan taujih-taujih yang menyentuhku, tapi tak tanggung-tanggung paku beserta palu paradigma tadi sudah lama dan kuat
menancap serta mengakar di benakku, dicabut rame-ramepun tak akan bisa.
Akhirnya,
aku pindah sekolah ke Padang, pertama kalinya berpisah dengan Abi dan Ummi,
perpisahan yang sangat menyedihkan, terbukti saat itu aku betul-betul tak tahan
menatap mobil Abi yang
membelakangi meninggalkanku di Padang, sampai dua hari lo menangis. Tapi aku tidak akan bercerita tentang perpisahan ini. Mulailah aku bersekolah di SMP Islam Khaira Ummah, tak tahu apa yang membentur paku dan palu tadi hingga tercabut, tapi paradigma susahnya bahasa inggris tadi sudah mulai terkikis, pelahan mengecil hingga mulai tercabut. Ku haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pak Khalil, guru bahasa inggris pertamaku di SMP Islam Khaira Ummah, seakan belajar bahasa inggris itu adalah pelajaran yang paling aku nantikan, pak Khalil menyajikannya secara instan aku rasakan, aku merasa paling mahir di kelas, aku selalu berharap ditunjuk dalam quiz-quiz, berharap ditunjuk juga dalam menjawab soal-soal lisan, aku kecanduan. Sebelumnya kakak ku sudah jauh lebih mahir berbahasa inggris tanpa memiliki kisah sejarah miris sepertiku. Sehingga saat aku di rumah selama SMP bersama kakak di rumah nenek ini, aku bertekad berbincang-bincang dengan bahasa inggris di rumah, tapi tidak terlalu konsisten sih. Tidak ingat kelas berapa, mungkin kelas 2 SMP, aku malah menjadi utusan sekolah untuk lomba pidato berbahasa inggris sekota Padang, tapi tentu tidak menang karena saking semangatnya aku mengarang pidatoku sendiri di luar tema yang ditetapkan panitia, dan pembimbingku tidak memberitahu aturan tema tersebut. Terkadang abi ingin mendengarku berbahasa inggris melalui telepon, aku senang sekali bisa memperdengarkannya ke Abi. Abi pun menyarankanku untuk memperdalam bahasa inggrisku. Aku kursus di LBA LIA di Khatib Sulaiman, Padang. Pergi les naik sepeda lo, satu-satunya, sekelas dengan teman-teman seusiaku yang hampir semua menggunakan sepeda motor. Kalau tidak salah gedung itu lima tingkat dan sekarang sudah rata sejak gempa di Padang tahun 2009 lalu. Kakak kandung juniorku saat di Ar Risalah meninggal dunia di gedung itu. Tak lama belajar disana, menggunakan sebutan level begitu tertantang kursus disini. Aku paling suka saat ujian naik level, apalagi bagian menceritakan sebuah gambar yang disodorkan oleh penguji, sebab aku bebas mengatakan dan mengeluarkan kosakata apa saja.
membelakangi meninggalkanku di Padang, sampai dua hari lo menangis. Tapi aku tidak akan bercerita tentang perpisahan ini. Mulailah aku bersekolah di SMP Islam Khaira Ummah, tak tahu apa yang membentur paku dan palu tadi hingga tercabut, tapi paradigma susahnya bahasa inggris tadi sudah mulai terkikis, pelahan mengecil hingga mulai tercabut. Ku haturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pak Khalil, guru bahasa inggris pertamaku di SMP Islam Khaira Ummah, seakan belajar bahasa inggris itu adalah pelajaran yang paling aku nantikan, pak Khalil menyajikannya secara instan aku rasakan, aku merasa paling mahir di kelas, aku selalu berharap ditunjuk dalam quiz-quiz, berharap ditunjuk juga dalam menjawab soal-soal lisan, aku kecanduan. Sebelumnya kakak ku sudah jauh lebih mahir berbahasa inggris tanpa memiliki kisah sejarah miris sepertiku. Sehingga saat aku di rumah selama SMP bersama kakak di rumah nenek ini, aku bertekad berbincang-bincang dengan bahasa inggris di rumah, tapi tidak terlalu konsisten sih. Tidak ingat kelas berapa, mungkin kelas 2 SMP, aku malah menjadi utusan sekolah untuk lomba pidato berbahasa inggris sekota Padang, tapi tentu tidak menang karena saking semangatnya aku mengarang pidatoku sendiri di luar tema yang ditetapkan panitia, dan pembimbingku tidak memberitahu aturan tema tersebut. Terkadang abi ingin mendengarku berbahasa inggris melalui telepon, aku senang sekali bisa memperdengarkannya ke Abi. Abi pun menyarankanku untuk memperdalam bahasa inggrisku. Aku kursus di LBA LIA di Khatib Sulaiman, Padang. Pergi les naik sepeda lo, satu-satunya, sekelas dengan teman-teman seusiaku yang hampir semua menggunakan sepeda motor. Kalau tidak salah gedung itu lima tingkat dan sekarang sudah rata sejak gempa di Padang tahun 2009 lalu. Kakak kandung juniorku saat di Ar Risalah meninggal dunia di gedung itu. Tak lama belajar disana, menggunakan sebutan level begitu tertantang kursus disini. Aku paling suka saat ujian naik level, apalagi bagian menceritakan sebuah gambar yang disodorkan oleh penguji, sebab aku bebas mengatakan dan mengeluarkan kosakata apa saja.
Waktu
berlalu, aku juga mulai menyukai lagu-lagu barat. Siapa sangka aku pernah hafal
satu album simple plan, avril, evanescence, good charlotte, hoobastank,
westlife, blink, banyak lagi lagu-lagu yang sedang populer pada saat itu. Dan
alhamdulillah aku tidak begitu candu lagi dalam menghafal lagu-lagu itu juga
berhenti mencari lagu-lagu baru, karena aku memang tidak punya akses lagi untuk
mencarinya sejak masuk ke Ar Risalah. Sedikit cerita menjelangg masuk MA Ar
Risalah, aku terjebak. Terjebak ke dalam longsoran emas. Pendaftaran SMA saat
itu online, aku lulus di SMA pilihan ke empat, SMAN 9. Padahal aku ingin
sekali bersekolah di SMAN 2, selain dekat rumah kabarnya di sekolah itu ada
kegiatan ekskul breakdance, itu obsesiku sejak ikut beladiri wushu di kelas 3
SMP. Tapi setelah bersilaturahim ke rumah Buk Erna, beliau mengabarkan bahwa
ada sekolah baru di Lubuk Minturun, jalan terus ke bukit melewat Khaira Ummah.
Sangat tepat waktu, hari itu juga aku langsung mendaftar, sudah hari terakhir
pendaftaran dalam gelombang kedua. Besoknya ikut tes dan aku lulus bersama
dengan temanku di Kimia Unand dan Presiden UNP sekarang. Masuk Ar Risalah
dahulu tidak sesulit sekarang, persaingan sekarang begitu ketat “melawan”
ratusan pendaftar lainnya, sedangkan dulu tidak begitu banyak. Sekarang aku
tinggal memilih masuk ke SMAN 9 atau Ar Risalah. Abi sama sekali tidak setuju
aku masuk ke pesantren itu, karna Abi bersifat idealis, berpikir dengan logika
yang tegas, memikirkan Ar Risalah itu adalah sekolah yang baru kami kenal
sehari, prestasinya tidak tahu banyak, plus aku menjadi Generasi Pertama alias
angkatan pertama, bisa dibilang “generasi percobaan”. Sepulang dari Ar Risalah
melihat pengumuman, perbincangan memilih sekolah bersama Abi dan Ummi dimulai.
Dan akhirnya semua keputusan diserahkan kepadaku, aku masih tidak percaya
perbincangan di mobil saat itu “ng-akhirat” banget. Karena pertanyaan Abi
bunyinya seperti ini “Abang lebih memilih dunia atau dunia dan akhirat?”
Seperti pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa aku baca di buku-buku siroh atau
kisah-kisah hikmah di majalah-majalah islami. Tentu saja aku memilih jawaban
yang ada akhiratnya, sesuai alur cerita di dalam buku-buku yang aku baca.
Mulailah
aku bersekolah disana dan aku juga baru tahu bahwa ada aturan bahasa, atau usbu’ul
lughah, ada english week dan ada arabic week. Seminggu
keseharian berbahasa inggris dan seminggu lagi berbahasa arab. Kalau sempat
tercatat oleh “malaikat” atau jasus bahwa aku berbahasa indonesia, akan di
denda seribu perkata, apalagi berbahasa daerah seperti minang, lima ribu perkata
WAW... Haha.. Tapi ‘iqobnya ini seringkali berubah. Aku senang sekali di
awal-awal dulu bisa bebas berbahasa inggris di keseharian ku, tapi cukup kecewa
berat dengan adanya bahasa spesies baru ini, “bahasa sakan”. Yang ini tidak
perlu diceritakanlah, takut terkuak oknum-oknum pencetusnya. Di semester kedua
tahun pertama aku mulai terbiasa berbahasa arab (Insyaallah cerita perjuanganku
mempelajari bahasa arab akan ditulis tak lama lagi.. hehe J). Selama di Ar
Risalah, yang menjadi guru bahasa inggris saat itu adalah ustadzah Erlinda Syam, banyak sekali mendapatkan ilmu dari beliau, namun kenikmatan melantunkan
lagu-lagu itu mulai terkikis, otomatis hasrat itu hilang disaat fokus menghafal
Quran, karna kebiasaan itu tidak mungkin hidup secara bersamaan. Andai aku
sedang candu-candunya menghafal dan muraja’ah, jangankan melantunkan lagu,
mendengarnya saja sangat mengganggu. Begitu pula sebaliknya, saat sedang
candu-candunya melantunkan lagu, muraja’ah terasa malas. Berbeda hasratnya
melantunkan lagu barat di masa SMP dengan MA, bedanya terletak di hati,
alhamdulillah aku bisa memisahkan niatku melantunkan lagu barat, kalau selama
di SMP itu aku menyanyikannya karena candu dan mendalaminya sepenuh hati, norak
banget pernah nyanyiin lagu barat sampe nangis meresapi, sedangkan di masa MA
aku menyanyikan untuk melancarkan kembali lidah yang kaku sebab tercemar
“bahasa sakan”, haha. Saksi kuat dalam hal ini adalah si “cerdas” Yoga, si
“cool” Fida’ dan si “murid” Wiryo. Makna “cerdas” ini tidak banyak yang paham,
ia hanya bisa dirasakan, begitu juga dengan “cool”, bersama Yoga dan Fida’ ini
seingatku sering membicarakan tentang lagu-lagu barat. Sedangkan si “murid”,
Wiryo ini memang menyerahkan dirinya kepadaku untuk diajari menuliskan lyric
lagu dari mendengarnya saja, sejarah penyerahan diri itu terjadi saat kami
sekamar menjadi na’ib di asrama junior. Beberapa lembar binderku berisikan
lyric-lyric lagu yang kutulis sendiri sering dipinjamnya. Termasuk lagu “We
will Not go down” yang sedang trend ditahun 2009. Karna aku juga salah satu personil
tim nasyid H2O (Hallow Hillarious Octagon), aku hampir tampil solo menyanyikan
sebuah lagu berbahasa inggris, kami sudah latihan hingga larut malam dengan
drummer si “cerdas” Yoga, aku tidak ingat kenapa tidak jadi ditampilkan saat
itu.
Nah,
untuk sekarang, alhamdulillah lagu-lagu Maher Zain, Raef dkk menjadi
pelampiasan menghafal lagu bahasa inggris. Terkadang terdengar juga lagu yang
menarik untuk di hafal akhirnya terhafal juga. Walaupun aku jauh dibilang mahir
dibanding teman-teman yang memang intens mempelajari bahasa ini, atau yang
masih mengejar lagu-lagu dan senang menghafalnya, paling tidak aku masih bisa
bercakap-cakap ringan dan mengetahui lyric lagu baru yang aku dengarkan, atau
menonton film tanpa subtittle, sebetulnya ini kembali ke ranah www.mirissekali.com
untuk ukuran mahasiswa, haha, harap dimaklumi. Beberapa waktu lalu mencoba membaca
The Davinci Code, tetap aja bolak balik kamus, kosakatanya.. beuh.. Semester
dua kemaren aku ikut kursus lagi, tapi tidak lama, di ELS bersama Muhammad
Khalid Aal J.
Kalau sekarang Abi jangan ditanya, Abi dituntut berbahasa inggris di tempat kerjanya,
karena “boss”nya orang Jepang, jadi setiap rapat atau berbalas email, whatsapp
maupun sms, harus bahasa inggris.
Apa
hikmahnya? Aku teringat tulisan yang pernah kutulis ini, Aku telah Menghafal al Quran, pelaku yang bercerita disana mengungkapkan hadits qudsi “Ana
‘inda dzhanni ‘abdi bi”(Sesungguhnya aku terdapat dalam prasangka hambaku).
Kalau kita berprasangka bahwa sesuatu itu memang sulit kita capai, maka Allah
memang memberikan apa yang kita prasangkakan kepadaNya, akan sulitlah
jalan-jalan kita dalam menggapai sesuatu yang kita tekadkan, ini berlaku untuk
semua kasus. Bagi yang menganggap bahwa menyusun skripsi, penelitian, tugas
akhir atau apalah namanya adalah sulit, maka Allah akan memberikan sesuai yang
kita prasangkakan kepadaNya. Waqul i’maluu fasayarallaahu ‘amalakum wa
rasuuluhuu wal mu’minuun, cukuplah kita bekerja maka Allah akan melihat
amal-amal kita, rasulNya dan orang yang beriman. Untuk hasil mari kita serahkan
kepada Allah, tawakkal setelah ikhtiar, no matter what, let Allah do His part,
everything’s going to be good insyaallah. Banyak lagi hikmanya yang bisa
masing-masing kita petik, cukup sampai disini ya. Semoga kisah nyata ini
bermanfaat, bila ada kesamaan nama dan tempat, itu bukan fiksi, melainkan
memang nama sesungguhnya.
wassalam.. J
ijin share gan
ReplyDeletedari awal ana senyam senyum baca cerita ustadz belajar bahasa inggris ini wkwk, tapi sesekali netes juga dikit tadz, semoga kita semua nanti berkumpul di surga Allah ya tadz Amin..
ReplyDeleteana baca lagi tadz ;)
ReplyDelete