Era disrupsi selalu mengagetkan kita dengan realitas-realitas tak terduga yang terus bermunculan di tiap sektor kehidupan, siapa "kita" yang terkaget-kaget itu? Yang kaget dengan hal-hal baru pada zaman ini hanyalah kelompok generasi Y (milenial) ke atas, generasi Z tidak akan begitu kaget sebab mereka turut berkontribusi atas perubahan zaman, bahkan merekalah yang saat ini sedang membanjiri pasar industri. Terlebih gen alpha yang lahir dari rahim generasi milenial, mereka adalah penduduk digital yang asli di Bumi ini. Usia mereka 13 tahun kebawah dan merupakan generasi yang paling akrab dengan perkembangan teknologi, mungkin mereka tidak merasakan adanya hal yang baru.
Apa hal dan realitas baru yang dimaksud? Mulai dari sektor industri yang dijadikan istilah dalam perubahan tatanan kehidupan kita, yaitu revolusi industri 4.0 yang sudah dimulai sejak abad 20. Makin kesini makin kesana, kita ambil contoh sektor transportasi yang dirasakan mayoritas penduduk Indonesia, Gojek yang pada awal 2009 hanya merupakan aplikasi untuk memesan driver sebagai tumpangan, saat ini telah merubah tatanan dan budaya belanja bersama aplikasi kompetitor lainnya. Pasar baru ini tidak pernah disangka-sangka oleh para ojek pangkalan, taksi konvensional bahkan merambah pada jasa membeli makanan, pengantar barang dan segudang fitur lainnya. Bahkan banyak masyarakat Indonesia yang mencari penghasilan disana.
Pasar-pasar termasuk mall yang dahulu memperebutkan pengunjung dengan berbagai cara menarik, diskon berlimpah, tidak lagi semeriah dahulu sejak munculnya marketplace seperti Tokopedia, Shopee dan lainnya. Mediapun begitu, chanel televisi senior yang dahulunya saling bersaing seperti SCTV, RCTI hingga Indosiar, TV One, Metro TV dan seterusnya, mulai mencari cara untuk menaikkan rating karena bersaing dengan kompetitor baru seperti Youtube, Netflix dan lain-lain. Hari ini kita dapat memilih produk kita sendiri, tidak lagi ditawarkan oleh pasar. Belum lagi dunia kesehatan, e-wallet, kurir ekspedisi, gawai, social media yang mulai menjadi social commerce, hingga pendidikan.
Dunia pendidikan sesungguhnya adalah sektor utama dan benteng yang harus dipertahankan sebagai asas kekuatan dan pembentuk karakter bangsa. Saat ini bahkan pendidikanpun seolah ditawarkan seperti produk industri, pembelajaran, kursus dan pengembangan hard skill serta soft skill dapat diakses secara gratis, tidak terbatas dengan ruang-ruang kelas, waktu bahkan usia. Gedung-gedung mewah sekolah dan kampus menjadi tidak ada artinya jika tidak membuat inovasi yang menarik. Hal ini menjadikan lembaga pendidikan turut berkompetisi mengikuti tren pasar untuk meraup peserta didik sebanyak-banyaknya. Lembaga-lembaga pendidikan yang seolah menjadi pabrik, kemudian melahirkan produk berupa anak-anak bangsa yang akan mengisi pasar-pasar industri tadi.
Jika frame ini tertanam di alam bawah sadar para penyelenggara pendidikan, maka ia tidak boleh dibiarkan berkepanjangan, jika tidak ia akan terus melahirkan generasi yang orientasi hidupnya adalah kemakmuran dan kesejahteraan finansial. Konsep ini menjadi standar ditengah masyarakat sebagai kesuksesan dalam hidup. Terbukti dengan para orang tua yang bangga bukan kepalang ketika anaknya lulus di perguruan tinggi terbaik, atau berhasil mendapatkan pekerjaan yang bisa menghidupi dan menjamin masa tuanya. Tidak salah, hal tersebut adalah prestasi yang patut dibanggakan, namun sebagi seorang muslim, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan kisi-kisi orang yang cerdas dalam sabdanya:
الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ
Orang yang cerdas adalah orang menghutangkan dirinya (kepada Allah), dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian. (HR. Tirmidzi No. 2459, Ahmad No. 17164, Ibnu Majah No. 4260)
Mampukah sekolah-sekolah atau perguruan tinggi serta tempat-tempat anaknya bekerja yang dibanggakan tersebut menjadikannya cerdas sesuai standar yang ditetapkan baginda SAW.? Yaitu generasi yang selalu merasa berhutang kepada Sang Pencipta dan sadar bahwa ia harus membayarnya suatu hari, kemudian menularkan rasa itu kepada lingkungan terutama keluarga kecilnya, dan generasi yang tidak akan mau beramal kecuali amal tersebut harus menjadi penolongnya pada kehidupan yang abadi kelak.
Maka keluarga-keluarga muslim perlu mereformasi kembali definisi kesuksesan yang sejati. Sebab yang paling penting bagi kita nanti ketika bertemu dengan Allah adalah dengan modal qalbun salim, yaitu
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
Hari dimana tidak ada manfaatnya harta dan anak-anak (Asy-Syu'ara: 88)
Semua standar kesuksesan yang dikejar-kejar dengan berbagai cara itu tiada guna, bahagia mampu meraihnya didunia namun berpotensi untuk merepotkan urusan akhirat.
إِلَّا مَنْ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Asy-Syu'ara: 89)
Cahaya iman seperti inilah yang sejatinya merubah karakter manusia, krisis identitas yang melanda umat Islam hari ini menyebabkan tatandan kehidupan kita dipenuhi dengan rasa ragu dan tidak percaya diri. Dengan iman, manusia yang ragu dan takut menjadi berani menampakkan identitas keislamannya, dapat memotivasi diri sendiri yang menjadi bekal dalam memotivasi orang lain, menjadi problem solver dalam bermasyarakat, bukan menambah problem dimasyarakat, sebab sudah terlalu banyak problematika yang ada ditengah masyarakat.
Lembaga pendidikan, bahkan pendidikan berlabel Islam sekalipun yang hanya mentransfer ilmu kepada akal manusia, berlomba mengejar rank dan akreditasi dengan indikator-indikator prestasi, penerimaan, kelulusan, nilai dan pencapaian administratif lainnya, namun miskin dalam menanamkan iman ke dalam jiwa, maka akan lahir pula generasi yang menghalalkan banyak cara untuk mencapai kesuksesan semu sesuai dengan hawa nafsunya,
إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan (Yusuf: 53)
Tidak terkecuali dikalangan akademisi dan penyelenggara pendidikan, muncul perilaku korupsi untuk keuntungan pribadi, nepotisme untuk naik jabatan, mafia-mafia yang menjual soal, nilai dan ijazah sebagai syarat masuk ke dalam lingkaran pasar yang diimpikan. Kecerdasan akal yang tidak diiringi dengan kecerdasan jiwa benar-benar telah mengakibatkan degradasi moral yang tak terbendung pada banyak kalangan. Nilai sempurna, ijazah dan penghargaan dunia yang bertubi-tubi itu hanya menjadi pembuktian cerdas di atas kertas, namun tergilas tak berbekas di pangkal dari kehidupan setelah kematiannya.
Sehingga yang dibutuhkan untuk mengimbangi persoalan zaman ini adalah hadirnya generasi yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan di negeri ini dengan ilmu dan keimanannya. Bertindak dan melangkah berlandaskan Al Quran dan Sunnah, kesuksesan dunia yang diraih dengan kesadaran, bukan berdasarkan permintaan dan kebutuhan 'pasar'. Memiliki jiwa yang tenang, setenang iman yang memenuhi hatinya, sebab kafir Quraisy dahulu sebelum datangnya Islam selalu menyelesaikan permasalahan dengan nafsu dan amarah. Semoga lembaga pendidikan Islam di Indoensia mampu bersama-sama menjawab dan merespon persoalan ini, menjadi 'pabrik' bagi generasi yang menanamkan iman, tidak sekedar mengajarkan pengetahuan tentang iman.
Wallahu a'lam bis shawab.
masyaallah
ReplyDeleteustad ana rindu sama ustad
ReplyDelete